PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Pengadilan Agama
Sebelum melakukan pemabahasan
mengenai Hukum Acara Peradilan Agama, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai
pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan
(titelatur) resmi bagi salah satu salah satu diantara empat lingkungan
Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga
lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.[1]
Peradilan Agama adalah salah satu
dari tiga Peradilan Khusus yang berlaku di Indonesia selain daripada Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Disebut sebagai Peradilan Khusus
karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu. Peradilan
Agama bisa disebut juga sebagai Peradilan Islam di Indoensia, sebab dari
jenis-jenis perkara-perkara yang boleh mengadilinya, keseluruhan adalah jenis
perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu, bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang
beragama Islam.
Setelah UU No. 7 Tahun 1989
diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut
berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang
Pengadilan Agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat
dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 adalah “Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam definisi pengadilan Agama
tersebut “kata Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk :
1.
Memberi
Dasar Hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas
Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksaannya.
2.
Untuk
memperkut landasan hukum mahkahmah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya
dibidang Jinayah berdasarkan Qanun.
Dalam
Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan,
Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, dan
c.
Wakaf
dan Shadaqah.
2.
Pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA)
Peradilan Agama merupakan peradilan khusus
yang mengadili perkara-perakra perdata tertentu saja. Dan juga sebagaimana kita
ketahui bahwa Peradilan Agama merupakan Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di
Indonesia, jadi harus memperhatikan peraturan perundang-undangan Negara dan
Syari’at Islam.
Pengertian
Hukum Acara Perdata menurut Abdul Kadir Muhammad yaitu “Hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan atau hakim, sejak di ajukan gugatan sampai
dengan pelaksanaan putusan hakim”.
Menurut Wirjono
Projodiskoro Hukum Acara Perdata adalah “Rangkaian peraturan-peraturan yang
membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.[2]
Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah “Peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan
perantaraan hakim”.
Dan dalam
bukunya Roihan A. Rasyid mengatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah “Segala
peraturan baik yang bersumber dari peraturan Perundang-undangan Negara maupun
dari Syari’at Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak kemuka
Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut
menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi
kekuasaan Peradilan Agama.[3]
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA) adalah “Rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka
pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak,
cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara
dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut dilingkungan Peradilan Agama
yang meliputi Mahkamah Syari’ah”.
3.
Asas-Asas
Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA)
Sesuatu yang
menjadi tumpuan atau menjadi dasar dalam beracara di muka Pengadilan merupakan
susuatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Asas-Asas yang berlaku
dalam Hukum Acara Peradilan Agama tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakuman dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
BAB II (Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman).
Dalam hal ini Asas-Asas
Hukum Acara Peradilan Agama terbagi kedalam dua bagian penting yaitu Asas Hukum
Umum Lembaga Peradilan Agama dan Asas Hukum Khusus Kewenangan Peradilan Agama.
a.
Asas
Hukum Umum Lembaga Peradilan Agama
1.
Asas
Bebas Merdeka
Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[4]
Pada dasarnya,
asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No. 7 Tahun 1989,
merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 dan
Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.[5]
Asas
Kemerdekaan Kehakiman atau Bebas Merdeka ini memberi penegasan dan peringatan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah “Kekuasaan Negara” yang berarti milik negara
bangsa Indonesia, bukan milik swasta atau milik golongan tertentu.
2.
Asas
Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata
Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[6]
3.
Asas
Ketuhanan
Peradilan
Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum Agama
Islam, sehingga pembuatan putusan dan penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah
yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.[7]
4.
Asas
Fleksibelitas
Pemeriksaan
dilingkungan Peradilan Agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Hal ini diatur dalam Pasal 57 (3) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 (2)
dan Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan
demikian Pengadilan Agama wajib membantu kedua belah pihak yang berperkara dan
berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak
tersebut.
Dalam
Asas Fleksibelitas yang dimaksud dengan Sederhana adalah acara yang jelas,
mudah dipahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak dalam
formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila
terjebak didalamnya memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat, yang dimaksud dalam asas Fleksibilitas berarti seorang hakim harus secara cerdas dalam menginventaris
persolan yang diajukan dan mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk
kemudian mengambil intisari dari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih
dalam melalui alat bukti yang ada. Kemudian apabila segala sesuatunya sudah
diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus
secepatnya mengambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka
untuk umum.
Biaya
ringan, yang dimaksud
adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta
menghilangkan biaya-biaya lain diluar kepentingan para pihak dalam berperkara,
sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap
apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5.
Asas
Non Ekstra Yudisial
Segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
keahkiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.[8]
Peradilan
dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak boleh ada campur
tangan dari pihak manapun, baik itu Eksekutif, Legislatif atau badan kekuasaan
yang lain tidak diperkenankan mencampuri jalannya peradilan.
6.
Asas
Legalitas
Makna
Asas legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law.
Pengadilan mengadili menurut hukum yang sama maknanya dengan kedudukan negara
Republik Indonesia sebagai “negara hukum”, yang semestinya pengadilan yang
berfungsi dan berwenang menegakan hukum melalui badan peradilan harus berpijak
dan berlandaskan pada hukum.[9]
Asas
legalitas juga dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus
sebagai hak persamaan hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam
rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasarkan atas
hukum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan, di persidangan,
putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas
hukum. Sehingga tidak diperbolehkan menurut atas dasar selera hakim, akan
tetapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
b.
Asas
Hukum Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1.
Asas
Personalitas Ke-Islaman
Asas
Personalitas Ke-Islaman berlaku bagi mereka yang tunduk dan yang dapat
ditundukan kepada kekuasaan kehakiman lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang
mengaku pemeluk agama Islam. Penganut agama selain Islam “non muslim” tidak
tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk pada kekuasaan kehakiman lingkungan
Peradilan Agama.[10]
Asas
Personalitas Ke-Islaman diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 2 Penjelasan Umum Alinea Ke-3
“Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah
berdasarkan hukum Islam” dan Pasal 49 (1) “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
perdata antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan, b.
Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c. wakaf dan shadaqah” terbatas pada
perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Jika
ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga serta Pasal 49 ayat
(1) diuraukan, dalam asas personalitas keislaman yang melekat pada UU No. 7
Tahun 1989, dijumpai beberapa penegasan yang membarengi asas dimaksud :
a.
Para
pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.
Perkara
perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat,
infaq, shdaqah, dan ekonomi syari’ah.
c.
Hubunngan
hukum yang melandasi berdasarkan hukum islam, oleh karena itu penyelesaiannya
berdasarkan hukum islam.
2.
Asas
Ishlah (Upaya Perdamaian)
Aasas
kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan
dengan tuntunan dan tuntunan anjuran moral Islam. Pada kenyataannya agama Islam
selalu menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang ada melalui
pendekatan Islah (fa aslikhu baina akhwaikum). Karena itu sangat
layak sekali para hakim di Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi
“mendamaikan”.
Upaya
perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo.
Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang itdak diubah dalam
undang-undang dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115
KHI jo. Pasal 16 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.
Asas
Terbuka Untuk Umum
Asas
terbuka untuk umum diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 59 (1) yang tidak
diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4)
UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah
terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain, atau jika hakim
dengan alasan penting yang dicaatat dalam berita acara sidang memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang
tertutup.[11]
Adapaun pemeriksaan perkara di pengadilan agama yang harus dilakukan dengan
sidang tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak atau
cerai gugat (Pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
4.
Asas
Equality
Pengertian
asas equality berarti persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan
dengan fungsi dari peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di
sidang pengadilan adalah “sama kedudukannya” dengan kata lain sama kedudukannya
di hadapan hukum.[12]
Jadi
pada dasarnya setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama
hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif
baik dalam diskriminasi Normatif maupun diskriminasi Kategoris. Adapun patokan
yang Fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap
penyelesaian perkara di persidangan adalah :
a.
“Equal
before the law” persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan
persidangan pengadilan.
b.
“Equal
Protection on the law” hak perlindungan yang sama oleh hukum.
c.
“Equal
justice under the law” mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.[13]
Dan
ketiga dari patokan inilah yang menjadi acuan dalam menegakkan persamaan hak
dan kedudukan.
5.
Asas
“Aktif” Memberi Bantuan
Sebagai
mana yang tercantum dalam Pasal 58 (2) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan”.[14]
Dan
juga yang tertuang dalam Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama,
mengatakan bahwa terlepas dari perkembangan prakrik yang cenderung mengarah
pada proses pemeriksaan denga surat atau tertulis, hukum acara perdata yang
diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama.
6.
Asas
Upaya Hukum Banding
Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan
Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
7.
Asas
Upaya Hukum Kasasi
Terhadap
putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan Kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
8.
Asas
Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap
segala putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan
terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9.
Asas
Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segaka
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Daftar Pustaka
Harahap, M.Yahaya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama (UU No.7 Tahun 1989).Sinar Grafika.Jakarta.2009
Projodiskoro. Wirjono.Hukum Acara Perdata di Indonesia.Sumur
Bandung.Bandung. 1992
Rasyid. Roihan.
Hukum Acara Peradilan Agama.Rajawali Pers.Jakarta.1991
Kompilasi Hukum
Islam
Undang-Undang
Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, S.H.(1992)Hukum Acara Perdata
di Indonesia.Sumur Bandung .Hal 13
[3] H. Roihan A. Rasyid, S.H.,M.A.(1998) Hukum Acara Perdailan
Agama.Jakarta.Rajawali Pers.Hal.10
[4] Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman
[5] Yahya Harahap,(2009),Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama (UU No. 7 Tahun 1989).Sinar Grafika.Jakarta. Hal 58
[6] Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7] Pasal 4 (1) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[9] Yahya Harahap,Hal. 82
[10] Ibid.Hal.56
[11] UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
[12] Yahya Harahap. Hal 85
[13] Ibid. Hal 86
[14] Pasal 58 (2) UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.