Minggu, 24 Maret 2013


PEMBAHASAN
1.    Pengertian Pengadilan Agama
Sebelum melakukan pemabahasan mengenai Hukum Acara Peradilan Agama, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelatur) resmi bagi salah satu salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.[1]
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga Peradilan Khusus yang berlaku di Indonesia selain daripada Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Disebut sebagai Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.  Peradilan Agama bisa disebut juga sebagai Peradilan Islam di Indoensia, sebab dari jenis-jenis perkara-perkara yang boleh mengadilinya, keseluruhan adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu, bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 Tahun 1989 diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 adalah “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam definisi pengadilan Agama tersebut “kata Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk :
1.    Memberi Dasar Hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksaannya.
2.    Untuk memperkut landasan hukum mahkahmah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya dibidang Jinayah berdasarkan Qanun.
Dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a.    Perkawinan
b.    Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, dan
c.    Wakaf dan Shadaqah.

2.    Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA)
          Peradilan Agama merupakan peradilan khusus yang mengadili perkara-perakra perdata tertentu saja. Dan juga sebagaimana kita ketahui bahwa Peradilan Agama merupakan Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi harus memperhatikan peraturan perundang-undangan Negara dan Syari’at Islam.
Pengertian Hukum Acara Perdata menurut Abdul Kadir Muhammad yaitu  “Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan atau hakim, sejak di ajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim”.
Menurut Wirjono Projodiskoro Hukum Acara Perdata adalah “Rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.[2]
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah “Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim”.
Dan dalam bukunya Roihan A. Rasyid mengatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan Perundang-undangan Negara maupun dari Syari’at Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak kemuka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA) adalah “Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut dilingkungan Peradilan Agama yang meliputi Mahkamah Syari’ah”.

3.    Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama (HAPA)
Sesuatu yang menjadi tumpuan atau menjadi dasar dalam beracara di muka Pengadilan merupakan susuatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Asas-Asas yang berlaku dalam Hukum Acara Peradilan Agama tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakuman dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam BAB II (Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman).
Dalam hal ini Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama terbagi kedalam dua bagian penting yaitu Asas Hukum Umum Lembaga Peradilan Agama dan Asas Hukum Khusus Kewenangan Peradilan Agama.

a.    Asas Hukum Umum Lembaga Peradilan Agama
1.    Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[4]
Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No. 7 Tahun 1989, merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.[5]
Asas Kemerdekaan Kehakiman atau Bebas Merdeka ini memberi penegasan dan peringatan bahwa kekuasaan kehakiman adalah “Kekuasaan Negara” yang berarti milik negara bangsa Indonesia, bukan milik swasta atau milik golongan tertentu.
2.    Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[6]
3.    Asas Ketuhanan
Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan dan penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[7]
4.    Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan dilingkungan Peradilan Agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini diatur dalam Pasal 57 (3) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 (2) dan Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian Pengadilan Agama wajib membantu kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Dalam Asas Fleksibelitas yang dimaksud dengan Sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak dalam formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak didalamnya memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat, yang dimaksud dalam asas Fleksibilitas berarti seorang hakim  harus secara cerdas dalam menginventaris persolan yang diajukan dan mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari dari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat bukti yang ada. Kemudian apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mengambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan, yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain diluar kepentingan para pihak dalam berperkara, sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5.    Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan keahkiman dilarang, kecuali dalam  hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.[8]
Peradilan dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun, baik itu Eksekutif, Legislatif atau badan kekuasaan yang lain tidak diperkenankan mencampuri jalannya peradilan.
6.    Asas Legalitas
Makna Asas legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law. Pengadilan mengadili menurut hukum yang sama maknanya dengan kedudukan negara Republik Indonesia sebagai “negara hukum”, yang semestinya pengadilan yang berfungsi dan berwenang menegakan hukum melalui badan peradilan harus berpijak dan berlandaskan pada hukum.[9]
Asas legalitas juga dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasarkan atas hukum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan, di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Sehingga tidak diperbolehkan menurut atas dasar selera hakim, akan tetapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

b.   Asas Hukum Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1.    Asas Personalitas Ke-Islaman
Asas Personalitas Ke-Islaman berlaku bagi mereka yang tunduk dan yang dapat ditundukan kepada kekuasaan kehakiman lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku pemeluk agama Islam. Penganut agama selain Islam “non muslim” tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk pada kekuasaan kehakiman lingkungan Peradilan Agama.[10]
Asas Personalitas Ke-Islaman diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 2 Penjelasan Umum Alinea Ke-3 “Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam” dan Pasal 49 (1) “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat perdata antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,  dan c. wakaf dan shadaqah” terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Jika ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga serta Pasal 49 ayat (1) diuraukan, dalam asas personalitas keislaman yang melekat pada UU No. 7 Tahun 1989, dijumpai beberapa penegasan yang membarengi asas dimaksud :
a.    Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.    Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shdaqah, dan ekonomi syari’ah.
c.    Hubunngan hukum yang melandasi berdasarkan hukum islam, oleh karena itu penyelesaiannya berdasarkan hukum islam.
2.    Asas Ishlah (Upaya Perdamaian)
Aasas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan anjuran moral Islam. Pada kenyataannya agama Islam selalu menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang ada melalui pendekatan Islah (fa aslikhu baina akhwaikum). Karena itu sangat layak sekali para hakim di Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan”.
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang itdak diubah dalam undang-undang dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI jo. Pasal 16 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.    Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 59 (1) yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain, atau jika hakim dengan alasan penting yang dicaatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.[11] Adapaun pemeriksaan perkara di pengadilan agama yang harus dilakukan dengan sidang tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak atau cerai gugat (Pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
4.    Asas Equality
Pengertian asas equality berarti persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan dengan fungsi dari peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang pengadilan adalah “sama kedudukannya” dengan kata lain sama kedudukannya di hadapan hukum.[12]
Jadi pada dasarnya setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif baik dalam diskriminasi Normatif maupun diskriminasi Kategoris. Adapun patokan yang Fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara di persidangan adalah :
a.    Equal before the law” persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan.
b.    Equal Protection on the law” hak perlindungan yang sama oleh hukum.
c.    Equal justice under the law” mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.[13]
Dan ketiga dari patokan inilah yang menjadi acuan dalam menegakkan persamaan hak dan kedudukan.
5.    Asas “Aktif” Memberi Bantuan
Sebagai mana yang tercantum dalam Pasal 58 (2) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.[14]
Dan juga yang tertuang dalam Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, mengatakan bahwa terlepas dari perkembangan prakrik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan denga surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.
6.    Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
7.    Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan Kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8.    Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap segala putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9.    Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segaka putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Daftar Pustaka
Harahap, M.Yahaya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.7 Tahun 1989).Sinar Grafika.Jakarta.2009
Projodiskoro. Wirjono.Hukum Acara Perdata di Indonesia.Sumur Bandung.Bandung. 1992
Rasyid. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama.Rajawali Pers.Jakarta.1991
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


[1]  H. Roihan A. Rasyid, S.H.,M.A.(1998) Hukum Acara Perdailan Agama.Jakarta.Rajawali Pers.Hal.5
[2] Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, S.H.(1992)Hukum Acara Perdata di Indonesia.Sumur Bandung .Hal 13
[3] H. Roihan A. Rasyid, S.H.,M.A.(1998) Hukum Acara Perdailan Agama.Jakarta.Rajawali Pers.Hal.10
[4]  Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[5] Yahya Harahap,(2009),Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989).Sinar Grafika.Jakarta. Hal 58
[6]  Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7]  Pasal 4 (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[8] Pasal 4 ayat  (4) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[9] Yahya Harahap,Hal. 82
[10] Ibid.Hal.56
[11] UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
[12] Yahya Harahap. Hal 85
[13] Ibid. Hal 86
[14] Pasal 58 (2)  UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.